Ekonomi Kerakyatan Dalam Dinamika Perubahan

EKONOMI KERAKYATAN DALAM DINAMIKA PERUBAHAN

Titik Balik Peradaban Manusia

Dalam bukunya berjudul “The Turning Point”, Fritjof Capra menyampaikan bahwa dewasa ini sedang dipertanyakan tentang otoritas pada tingkat global mengapa negara dunia ketiga disebut sebagai “tertinggal” dari negara-negara industri. Apa kriteria ketertinggalan itu, dari mana mengukurnya, dan siapa yang menentukannya.

Semakin banyak pemimpin negara ketiga yang memahami dengan jelas krisis multidimensi yang dialami negara-negara di belahan bumi utara, dan menolak dengan tegas usaha-usaha mereka untuk mengekspor masalah itu ke belahan bumi selatan. Bahkan beberapa pemimpin negara ketiga mendiskusikan bagaimana negara-negara di belahan bumi selatan mungkin mengurangi derajat ketergantungan dari belahan bumi utara untuk membangun sendiri berbagai pola ekonomi dan teknologi kontekstual yang cocok dengan masyarakat di belahan bumi selatan.

Bahkan beberapa telah mengusulkan perubahan definisi dari kata pembangunan (“development”) yakni dari pembangunan produksi industri dan distribusi barang menjadi pembangunan sumberdaya insani.

Pernyataan Capra itu bukan tanpa dasar. Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam mengubah peradaban manusia. Ketika dulu mesin-mesin produksi ditemukan di jaman awal revoulsi industri, peradaban manusia mengalami perubahan besar-besaran.

Di jaman revolusi industri abad 16, kaum lelaki digiring untuk bekerja di pabrik-pabrik dan dipaksa untuk mengikuti teknik tata-cara yang ditentukan dalam arus ban berjalan ala Taylorism. Terminologi efisiensi menjadi ukuran produktivitas setiap pekerja. Efiesiensi yang diukur berdasarkan kesuksesan arus ban berjalan yang mengorbankan harkat kreativitas kemanusiaan, karena gerak-gerik manusia dipaksa untuk mengikuti gerakan mesin demi azas efisiensi. Efisiensi diukur dari menekan serendah mungkin ongkos bahan baku, ongkos teknologi produksi, dan ongkos tenaga pekerja. Terminologi kelas pemilik yang menghendaki efisiensi setinggi mungkin atas dasar menekan serendah mungkin ongkos tenaga kerja menjadi pola interaksi antar manusia yang timpang dan menindas.

Sementara kaum lelaki harus mengabdi kepada pemilik pabrik, kaum perempuan didomestikkan untuk bertanggung-jawab di sektor rumah tangga, tanpa digaji. Sumbangan kaum perempuan kepada keseluruhan efisiensi sistem tidak pernah diperhitungkan. Menyusul subordinasi kaum pekerja kepada pemilik pabrik, subordinasi kaum perempuan terhadap kaum lelaki secara ekonomis juga terjadi. Penindasan multilevel terjadi sebagai akibat revolusi industri yang didorong oleh berbagai penemuan sains dan teknologi produksi pada saat itu.

Sejarah, kini, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien.

Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data dan kompresi, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpan data (data storage) dan penyampai data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks.

Teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif , lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, dari suatu teknologi, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Beberapa pertanyaan dan pernyataan berikut bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, dan apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal:

  • Sifat ambivalen teknologi informasi oleh Andrew Feenberg dinyatakan dalam dua prinsip yang menjelaskan implikasi sosial dari pengembangan teknologi ini, yakni “principle of the conservation of hierarchy” sekaligus juga “principle of subversive rationalism“. Prinsip yang pertama bermakna bahwa hirarki sosial yang ada dipertahankan oleh teknologi tersebut, dan bahkan diperkuat lagi. Suatu contoh disini adalah komputerisasi manajerial yang memperkuat kontrol terhadap bawahan oleh para pemilik modal untuk lebih mengefisienkan para pekerjanya. Sementara prinsip kedua meyakini bahwa teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi.
  • Tempat dimana komputer akan berperan dalam kehidupan sosial sangat tergantung secara erat dengan rancangan sistemnya. Sistem yang dirancang untuk alat kontrol hirarkis adalah sejalan dengan asumsi rasional bahwa komputer bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya sistem yang dirancang secara demokratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian organisasi-organisasi masyarakat. Demikian pandangan Winograd dan Flores yang menyebutnya dengan “ontological designing“.
  • Hirschhorn menjelaskan potensi komputer dengan mengontraskannya dengan pandangan para Taylorist. Kalau Taylorism membatasi dan bahkan menindas gerak anggota badan manusia pekerja untuk mengikuti sistem ban berjalan demi efisiensi, komputer memiliki prinsip fleksibelitas yang menciptakan konsepsi pekerjaan dimana kapasitas pekerja untuk belajar, untuk beradaptasi, untuk meregulasi kontrol yang berkembang menjadi sentral dari pengembangan potensi sistem mesin itu sendiri.
  • Zuboff berargumentasi, dalam arah yang sejalan dengan argumentasi Marx yang mengkongkritkan evaluasinya tentang biaya tinggi dari sistem manajemen otoriter. Ia menunjukkan bahwa komputer dengan sifat ambivalennya dapat berperan dalam pembangunan masyarakat alternatif. Otomatisasi meningkatkan otonomi manajemen hanya dengan sedikit ongkos melalui terciptanya ruang-gerak para pekerja, dimana ruang gerak tersebut justru membuka peluang untuk meningkatkan kualitas kerja individu secara terarah. Pandangan ini dinyatakan Zuboff dengan : “Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau meniadakan kontribusi insani”.
  • Andrew Fernberg mengingatkan kembali sejarah pemisahan lapisan tenaga kerja menjadi “manual workers” versus “sacred readers” yang kini digugat kembali. Strategi otomatisasi yang memanfaatkan kemampuan komputer dalam komunikasi akan menurunkan perbedaan yang menyolok antara pekerja mental (intelektual, politisi, pemuka agama, dll.) dengan pekerja manual (buruh, logi baru karyawan, dll.). Bentuk-bentuk norma sosial yang baru akan bertumbuhan di seputar penerapan teknologi baru, yang akan menjadi medium bagi proses demokratisasi kemandirian organisasi.

Teknologi informasi mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong pemaknaan ulang perdaganagn dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan., pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Dewasa ini sedang diributkan seputar politik dan kontrol terhadap teknologi yang terus tumbuh ini. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.

Pada dasarnya, teknologi yang memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, dan terjangkau memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat yang demokratis. Teknologi semacam ini harus dimiliki oleh rakyat untuk membantu rakyat mengorganisir diri secara modern, efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat tersebar dari proses berekonomi dan bermasyarakat.

Dorongan Pasar Bebas dan Globalisasi (Global Market Driven Forces):

Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam merubah paradigma kemanusiaan. Diantaranya yang paling cepat mengadopsi perubahan paradigma itu adalah dunia usaha dan perekonomian global.Gelombang reformasi dan demokrasi yang kita hadapi sesungguhnya hanyalah konsekuensi dari perubahan di dalam fundamen yang menyokong ekonomi dunia. Perubahan itu terjadi akibat dari berlangsungnya 3 faktor yang membentuk kembali dunia perdagangan internasional. Ketiga faktor tersebut adalah internasionalisasi komoditi, transnasionalisasi modal dan globalisasi informasi . (Lihat Gambar A).

Suatu komoditi saat ini diciptakan berdasarkan sumbangan dari seluruh penjuru dunia. Perluasan produksi komoditi itu berarti perluasan produksi dunia. Inilah yang dimaksud dengan internasionalisasi komoditi yang membawa akibat kepada meluasnya penggunaan mata uang dunia (US dollar). Dari Gambar A, proses internasionalisasi komoditi sejak tahun 1950 – 1990 telah tumbuh sekitar 20%.

Manakala suatu komoditi dihasilkan dengan cara menggabungkan berbagai produk dari seluruh dunia, penggabungan itu akan terjadi juga kepada salah satu faktor produksinya, yaitu modal. Produksi tidak lagi melibatkan tenaga kerja diseluruh dunia, pada akhirnya ia juga melibatkan modal dari berbagai bangsa. Transnasionalisasi modal ini menyebabkan modal amat likuid, dengan cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain.

Pada suatu saat modal menjadi anonim, siapa pemiliknya tidak jelas diketahui dan pemanfaatannya pun lepas dari preferensi individual. Dibanding tahun 1950an, modal transnasional telah naik menjadi lebih 160% pada tahun 1990-an.

Modal jenis inilah yang yang telah merontokkan mata uang negara-negara Asia Selatan. Modal ini datang dan pergi hanya untuk satu alasan: keuntungan.

Faktor penentu ketiga adalah globalisasi informasi, yaitu penyebaran akses dan produksi informasi keseluruh dunia. Informasi bisa diakses dan dimiliki oleh siapa saja dan dimana saja di dunia ini. Perkembangan lintas batas informasi adalah yang tercepat. Sampai ketika Internet ditemukan, sekitar tahun 1990 globalisasi informasi telah naik 200% dibanding tahun 1950an. Dengan semakin luasnya pemakaian Internet globalisasi informasi naik entah berapa kali lipat, only sky is the limit.

Ketiga kecenderungan inilah yang membentuk ulang dunia tempat hidup kita sekarang. Dan salah satu faktor penentu, modal transnasional, telah membuktikan kekuatannya tatkala memicu runtuhnya perekonomian Indonesia.

Maka proses reformasi, dimana demokratisasi menjadi pegangan utamanya, yang sedang kita lakukan sekarang ini, tidak lain hanyalah langkah awal dari perubahan yang perlu dan harus kita lakukan demi menyiasati perubahan bukan saja di lingkungan internal, bahkan juga di lingkungan global.

Indonesia Menghadapi Tantangan Rekolonisasi

Ketiga aspek proses globalisasi akan mendapatkan kekuatan yang sangat dahsyat dari revolusi teknologi informasi dan komunikasi, seperti telah disampaikan sebelumnya, yang mewujud dalam teknologi Internet. Dalam masa 10 tahun ke depan kemajuan Internet, dengan tingkat perkembangan yang ada, akan merubah hampir semua aspek kehidupan — pendidikan, perawatan kesehatan, kegiatan kerja dan pengisian waktu luang.

Internet menawarkan peluang yang sangat luar-biasa, yang tidak seluruhnya positif. Dari sisi positif, Internet dapat menjadi alat demokratisasi yang ampuh. Internet mampu memberikan sekaligus 2 hal yang menjadi inti demokrasi: kemampuan memilih dan kemampuan mewujudkan pilihan.

Di sisi lain, Internet juga membuka peluang luarbiasa bagi lahirnya bentuk penjajahan baru. Suatu penjajahan yang bertujuan penguasaan ekonomi melalui pengendalian dan penguasaan informasi.

Kenyataan yang kita hadapi memang luar biasa pahit. Lewat perjuangan keras pada Agustus 1945 kita berhasil melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Sekarang, setelah lebih dari 50 tahun merdeka ternyata kita masih harus menyembah untuk belas kasihan pemodal asing. Sekarang, tatkala kita ingin bangkit, kita seakan kembali terperangkap ke dalam koridor sempit yang mengerdilkan kemartabatan dan kemandirian kita.

Pokok-pokok Pikiran Ekonomi Kerakyatan

Landasan bagi kebijakan ekonomi di masa depan harus disusun menurut perspektif menyeluruh atas kekuatan-kekuatan yang membentuk kondisi kita sekarang ini. Kondisi objektif itu dapat diringkaskan dalam pokok-pokok pikiran berikut ini:

  1. Segala bentuk korupsi yang menyebabkan biaya transaksi tinggi terjadi sebagai akibat dari sistem yang tertutup dan protektif. Tanpa kelembagaan yang memiliki derajat accountability dan predictability yang tinggi, perekonomian akan tumbuh sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter “Kapitalisme dalam tenda oksigen”. Apa yang terjadi dibalik tenda tidak sungguh-sungguh nyata. Pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari ilusi belaka. Apabila kelembagaan demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada waktunya akan sirna.
  2. Pengusaha-pengusaha yang tangguh tidak dilahirkan dari rekayasa atau sistem preferensi. Hanya pergulatan dalam pasar yang akan memberikan kita industrialis dan pengusaha yang dapat kita banggakan. Sistem preferensi hanya akan mengukuhkan eksistensi elit dan mengekalkan sistem proteksi, yang dalam jangka panjang justru merusak sendi-sendi ekonomi dan demokrasi masyarakat kita.
  3. Kenaikan standar hidup rakyat harus dilihat sebagai bagian pembentukan modal nasional (capital accumulation). Ini berarti tujuan pokok dan terus-menerus dari kebijaksanaan ekonomi kita adalah peningkatan purchasing power dari rakyat. Pelajaran ini sangat penting, bahwa di masa depan kekukuhan ekonomi nasional harus ditemukan di dalam potensi besar yang dimiliki masyarakat luas, yaitu usaha kecil dan menengah.
  4. Krisis Ekonomi 1997-1998 menunjuk kepada pentingnya memperhitungkan kekuatan eksternal yang semata bekerja menurut hukum ekonomi pasar, dan indifferent terhadap dampak kepada kemanusiaan. Kekuatan modal yang menyerbu pasar uang Asia Selatan amatlah besar dan tidak pernah ada preseden sebelumnya menyangkut pengerahan dana sebanyak itu. Para fund managers yang berada dibalik pengerahan dana besar-besaran itu berhasil mengeruk keuntungan amat besar dengan meninggalkan ribuan industri bangkrut dan jutaan pengangguran baru.
  5. Fokus kebijaksanaan ekonomi adalah usaha kecil/menengah. Kalau kita menuntut pemerintah menaruh fokus kepada usaha kecil/menengah bukanlah karena kita ingin menciptakan sistem preferensi baru. Dengan menaruh perhatian kepada UKM tidak berarti pemerintah bertindak unfair, sehingga dikhawatirkan nantinya bakal mendistorsi pasar. Substansi pokok ilmu ekonomi adalah memperbesar manfaat (utility). Manfaat adalah value, yang dalam ilmu ekonomi adalah subjektif. Bagi seorang petani desa, pendapatan Rp.1 juta sudah cukup untuk mencetak 5 anaknya menjadi sarjana. Tetapi uang sebesar ini bagi seorang konglomerat, barangkali hanya cukup untuk sekali makan siang.
  6. Persoalan yang juga akut menyangkut pengembangan usaha kecil dan menengah adalah terjebaknya usaha kecil dan menengah di dalam kelumpuhan sumberdaya Keadaan mereka yang miskin, ketakpastian dan resiko yang tinggi praktis telah mengasingkan mereka dari sumber-sumber modal, keahlian, informasi dan peluang bisnis. Tidak seluruh kelemahan usaha kecil/menengah berasal dari kelemahan internal mereka. Kesalahan kebijakan yang melahirkan konsentrasi kekuasaan dan ekonomi mempunyai andil yang tidak kecil atas keterpurukan UKM. Modal, keahlian, informasi dan pasar adalah komoditi ekonomi yang senantiasa bergerak menuju lokasi dengan potensi keuntungan tertinggi. Selama kebijakan tidak memberi advantage kepada UKM, semua sumberdaya itu hanya akan bergerak ke arah usaha besar. Hanya dengan memberi advantage kepada UKM maka kesenjangan dapat dijembatani.
  7. Fokus kebijaksanaan ekonomi kepada Usaha Kecil Menengah merupakan suatu keharusan apabila kita memperhatikan mereka adalah mayoritas pelaku usaha di Indonesia seperti tercermin dalam data berikut. Data BPS Desember 1998 menunjukkan bahwa terdapat 39,8 juta pengusaha di Indonesia, dimana 99,8% adalah pengusaha kecil dan hanya 0,2% pengusaha besar dan menengah. Dari jumlah 39,8 juta diatas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7%, perdagangan, perhotelan dan restauran 22,67%, Industri 5,7% dan Jasa sebesar 3,9%. Dari komposisi volume usaha sejumlah 99,85% volumeusahanya dibawah 1 miliar, 0,14% diantara 1-50 miliar, dan 0,01% yang diatas 50 miliar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66%, kelompok kedua menyerap 10,78% dan yang ketiga menyerap 0,56%
  8. Apakah kebijaksanaan serupa itu akan mendistorsi pasar? Distorsi adalah keadaan ketika pelaku ekonomi keliru menafsirkan sinyal pasar. Ketika seharusnya ia membeli, malah menjual. Sebaliknya, saat seharusnya ia menjual malah membeli. Distorsi tidak disebabkan oleh policy, betapa pun buruknya policy itu. Distorsi ditimbulkan oleh ketidak-terbukaan. Kebijakan apapun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi. Keadaan ini terjadi akibat ada informasi yang asymmetric, sebagian orang tahu sementara yang lain tidak tahu. Akibatnya sebagian pelaku akan bertindak optimal sementara yang lain tidak. Jadi, masalahnya bukankah kebijaksanaan apa, tetapi apakah semua orang punya informasi yang sama?

Ekonomi Jaringan sebagai dasar Ekonomi Rakyat

Ekonomi Jaringan adalah antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism, dan sekaligus sintesa dari ketiga faktor yang telah dijelaskan diatas, yaitu realitas bangsa yang mayoritas pelaku usahanya adalah usaha kecil menengah, faktor pendorong global dan pasar bebas, serta dorongan revolusi teknologi informasi.

Memperhatikan berbagai faktor internal dan eksternal seperti dijelaskan sebelumnya, maka ekonomi kerakyatan perlu dipahami secara komprehensif, tidak sepotong-sepotong, dalam sebuah kerangka “close-circuit economy” yang sesuai dengan perkembangan paradigma baru masyarakat yang holistik. Secara singkat, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan sebagai:

  • ekonomi jaringan yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jaringan pasar domestik diantara sentra dan pelaku usaha masyarakat,
  • suatu jaringan yang diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga bisnis internasional, dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik.
  • Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka), dimana para konsumen adalah sekaligus pemilik dari berbagai usaha dan layanan yang dinikmatinya, sehingga terjadi suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto: “belanja kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri”.
  • Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling-ajar, serta jaringan sumberdaya lainnya seperti hasil riset dan teknologi, berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelejen usaha, yang adil dan merata bagi setiap warga-negara, agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang disudutkan sebagai beban pembangunan seperti yang terjadi selama Orde Baru.
  • Pada akhirnya, Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, services provider, equipment provider, cargo, dsb di dalam jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan dinamis.

Paradigma Networked Economy (Ekonomi Jaringan) dalam era globalisasi tidak bisa dihindari. Sukses Ekonomi Rakyat adalah Indonesia harus memiliki Ekonomi Jaringan sebelum tahun 2003. Semoga.

  • Penutup

Solow, Dertouzos dan Lester dari MIT , ketika memimpin Komisi Produktivitas Industri Amerika, yang salah satu laporannya dimuat dalam buku berjudul “Made in America“, kembali mengingatkan kita bahwa apabila suatu banga ingin hidup secara baik, maka bangsa itu harus berproduksi secara baik. Karena kalau tidak demikian, maka bangsa itu harus menanggung defisit akibat ketidak-setaraan dalam perdagangan antar bangsa.

Komisi Produktivitas Industri Amerika ini dibentuk karena desakan berbagai produk Jepang yang membanjiri Amerika dengan kualitas dan harga bersaing. Pabrik-pabrik Amerika dianggap tidak efisien, kelompok pekerja yang diperlakukan kurang baik dan kurang terperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya, manajer dianggap sangat oportunistik karena mengejar hasil jangka pendek ketimbang memperjuangkan tujuan fundamental jangka panjang.

Amerika telah memberi contoh bagaimana strategi ekonomi yang diterapkan dalam melindungi pasar domestik untuk kepentingan produksi dalam negeri dengan cara meningkatkan produktivitas dan kualitas produk-produk untuk bersaing secara kompetitif dengan produk negara lain, bukan dengan cara proteksi yang mematikan.

Untuk menuju kesana. Langkah awal yang harus dilakukan adalah perhatian kepada mayoritas pelaku usaha, yakni usaha kecil menengah dan koperasi. Perhatian ini pada kenyataannya harus menyangkut pembenahan dalam banyak hal, mulai dari infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur pembiayaan, dan infrastruktur usaha lainnya, ketersediaan sumberdaya manusia yang kreatif, ketersediaan riset dan teknologi yang bervariasi sesuai tuntutan usaha kecil menengah, ketersediaan dukungan untuk membentuk jaringan pasar domestik yang menjadi incaran pelaku-pelaku usaha internasional, dll. merupakan isu sentral dari usaha demokrasi ekonomi saat ini.

Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisiensi yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan “pembeli adalah juga pemilik”. Dengan keyakinan ini,

Masyarakat Indonesia baru akan memasuki era globalisasi dengan cara-cara yang elegan dan kompetitif sebagaimana suatu korporasi “New Indonesia Incorporated”. Team work Patnership